SMA 3 Semarang

Kamis, 24 Mei 2018

People Power of Philippines

Corazon Aquiono, People Power dan Presiden Wanita Asia Pertama

Cory Aquiono dengan nama lengkap María Corazón Cojuangco Aquino merupakan Presiden wanita pertama di Filipina sekaligus pertama di Asia. Lahir dalam keluarga China-mestizo (indo) yang kaya pada 25 Januari 193386, Corazon yang menempuh studi Sastra Prancis di Amerika dan kemudian mendalamin studi hukum di negerinya sendiri berhasil menjadi orang nomor satu di negeri “Tagalog” selama 6 tahun 4 bulan.
Berbicara perjuangan politik Corazon tidak bisa dilepas dari pembunuhan yang dialami oleh suaminya, Benigno Servillano Aquino. Beniqno Aquiono merupakan politisi sekaligus senator pro-demokratik yang berani dengan tegas mengecam kediktatoran pemerintah Ferdinand Marcos.  Selama sekitar 21 tahun, Marcos memerintah secara diktator, menangkap dan menenjarakan para aktivitis,  ditambah dengan korupsi yang dilakukan keluarga dan kroni-kroninya. Hal yang paling mencolok dari Marcos adalah ia bertekut lutut pada semua kemauan istrinya Imelda Marcos yang menjadi biang kerok korupsi pemerintahan Marcos.
Perlawanan sang Senator berbuah ia ditangkap lalu dimasukkan bui pada September 1972. Selama kurang lebih 7 tahun berada dibalik jeruji besi di Filpina, akhirnya ia diperbolehkan berada di pengasingan (Boston-Amerika) sekaligus untuk mengobati penyakitnya di Boston-Amerika. Setelah sekitar 3 tahun di pengasingan, pada 21 Agustus 1983, Senator Benigno Aquiono kembali untuk pertama kali di Manila, Filpina. Baru turun dari pesawat di Bandara Internasional Manila,  Beniqno Aquiono ditembak oleh oknum. Meskipun dari hasil investigasi menunjukkan Imelda Marcos (istri presiden incumbent) terlibat dalam konspirasi ini dengan melibatkan partai komunis di Filipina, Marcos tetap menepis tuduhan itu.

People Power dan Perjuangan Corazon Aquiono
Pembunuhan terhadap Senator Benigno Aquino menjadi isyarat awal akan terjadinya gerakan massa yang luar biasa. Dua juta orang mengantar jenazah ke pemakaman Benigno. Setelah itu, antara 1983-1986, Manila dilanda demonstrasi besar-besaran menentang kediktatoran Marcos. Inilah masa-masa paling berbahaya, karena banyak lawan politik hilang begitu saja. Saat itulah Corazon Aquino muncul sebagai tokoh oposisi. Dengan melakukan berbagai gerakan politik untuk menuntut sekaligus mengecam penculikan, penghilangan nyawa para polikus oposisi pemerintah Marcos, kehadiran Corazon sekaligus mewakili “roh” hidup mendiang suaminya, Benigno Aquiono.
Ketika situasi bertambah buruk, Marcos pada bulan November 1985 mengumumkan pemilu presiden ditunda selama 2 bulan lebih dan  baru akan dilaksanakan Februari 1986. Marcos yakin bahwa tak ada orang yang mampu mengalahkan dirinya: ia punya uang, punya senjata, dan pastinya licik. Sebelumnya Corazon Aquino mengatakan hanya mau menjadi kandidat presiden bila dua syaratnya terpenuhi: pertama ditundanya pemilihan umum dan kedua bila mendapat dukungan satu juta tanda tangan. Kedua syarat itu terpenuhi. Corazon Aquino pun lantas menghadap Jaime Kardinal Sin, minta restu. ”Baiklah, berlututlah. Aku akan memberkatimu. Kamu akan menjadi presiden. Kamu adalah Jean d’Arc…. Dan kamu akan menang. Kita akan melihat tangan Tuhan, mukjizat. Tuhan memberkatimu,” kata Kardinal Sin.
Pemilu Presiden ke-11 Filipina akhirnya dilaksanakan pada 7 Februari 1986. Selain intimidasi dan kecurangan hasil pemilu, terjadi pulah kecurangan masif yakni penghilangan hak pilih sebagian warganya yang memiliki kecenderungan pro pada Corazon. Dan pada hari-H,  Gubernur Evelio Javier yang menjadi sekutu utama Corazon dibunuh.  Kematian Evelio Javier menambah daftar panjang kematian para tokoh oposisi. Dari hasil perhitungan National Movement for Free Elections diperoleh Corazon memimpin perolehan suara. Namun, hal-hal ini dapat diantisipasi oleh Marcos dengan mengantikan 30 anggota KPU selama proses perhitungan suara dengan orang suruhannya. Manipulasi hasil perhitungan terjadi, dan KPU-Filipina berusaha menampilkan kemenangan Marcos.
Tanggal 15 Februari 1986, KPU Filipina mengumumkan kemenangan bagi Ferdinand Marcos. Hasil ini tentu saja tidak dapat diterima oleh kubu Corazon yang menyatakan bahwa semestinya mereka yang memenangi pemilu. Pada saat yang sama Corazon menyerukan agar masyrakat memboikot gurita bisnis Marcos. Hal serupa disampaikan Konferensi Uskup Katolik Filipina yang menyatakan bahwa telah terjadi kecurangan dalam pemilu tersebut.
Ketika situasi makin memburuk, sebelum tanggal 22 Februari 1986, Wakil Staf AB Jenderal Fidel Ramos dan Menteri Pertahan Juan Ponce Enrille membelot dan menyatakan bahwa Marcos telah berbuat curang. Mereka meminta Presidennya untuk mengundurkan diri. Mereka juga mengatakan, pemenang pemilu sesungguhnya adalah Corazon Aquino.
Pada saat itulah Jaime Kardinal Sin lewat radio Veritas meminta umatnya untuk melindungi kedua petinggi militer itu yang hendak diciduk tentara Marcos pimpinan Kepala Staf AB Jenderal Fabian Ver. Pada 22 Februari 1986, jutaan orang turun ke Epifano de Dos Santos Avenue (EDSA). Inilah yang kemudian disebut sebagai “People Power Revolution ” yang mengakhiri kediktatoran Marcos.
Peristiwa People Power Revolution ini juga dikenal dengan nama Revolusi EDSA. EDSA adalah singkatan dari Epifanio de los Santos Avenue, sebuah jalan di Metro Manila yang merupakan tempat aksi demonstrasi berlangsung. Hal yang menarik adalah meskipun gerakan People Power disebut sebagai revolusi besar di Filipina, namun berlangsung damai. Demonstrasi massal dengan jutaan orang ini berlangsung selama empat hari di Metro Manila dengan tujuan untuk mengakhiri rezim otoriter Presiden Ferdinand Marcos dan pengangkatan Corazon Aquino sebagai presiden.

People Power dan Kursi Kepresidenan
Untuk menjadi presiden Filipina, Corazon harus melewati perjalanan panjang dan pahit. Ia harus mengalami kehilangan suami tercinta, orang-orang terdekat yang mendukung perjuangannya  dan dibawah tekanan pemerintah yang otoriter.
People Power bisa berhasil karena adanya kematangan diri sekaligus mendapat dukungan dari berbagai elemen yakni:
  1. massa rakyat dari segala lapisan,
  2. elite politik,
  3. kelas menengah,
  4. kalangan bisnis,
  5. tentara, dan
  6. Gereja Katolik.
Kenam elemen tersebut bersatu dan bergerak karena muak terhadap pemerintahan Marcos yang korup, yang curang, yang bertangan besi, yang memanipulasi kekuasaan dan mandat rakyat, serta yang hanya mementingkan keluarga dan kelompoknya sendiri.
Selama menjabat sebagai presiden, terjadi beberapa kali usaha kudeta terhadap dirinya.  Di masa pemerintahan dia pula, konstitusi negara Filipina diubah dengan tidak memperbolehkan presiden untuk mencalonkan lagi sebagai presiden untuk periode ke-2 kalinya. Sehingga Aquiono hanya diperbolehkan menjabat satu periode masa jabatan yakni 6 tahun.

Catatan :
“People Power” mengacu pada revolusi sosial damai (demonstrasi damai) yang terjadi di Filipina sebagai akibat dari protes rakyat Filipina melawan Presiden Ferdinand Marcos.

Dalam sebuah buku berjudul A Muddled Democracy-"People Power" Philippine Style, (Development Destin Studies Institute, November 2001) Dr James Putzel menyatakan, people power merupakan ekspresi demokrasi yang paling tinggi.


Ronald Meinardus dalam karya tulisnya berjudul Weak Institutions Fan Filipino Turmoil (Friedrich Naumann Stiftung, 2005) berpendapat bahwa people power menjadi sebuah sinonim untuk transisi demokratik dan damai.


Latar Belakang People Power di Filipina :
  • Protes rakyat Filipina melawan Presiden Ferdinand Marcos. Selama sekitar 21 tahun, Marcos memerintah secara diktator, menangkap dan memenjarakan para aktivitis,  ditambah dengan korupsi yang dilakukan keluarga dan kroni-kroninya. 
  • Masyarakat Filipina dari berbagai elemen muak terhadap pemerintahan Marcos yang korup, curang, bertangan besi, melanggar hak asasi manusia, memanipulasi kekuasaan dan mandat rakyat, serta hanya mementingkan keluarga dan kelompoknya sendiri.

Tokoh:
Cory Aquiono dengan nama lengkap María Corazón Cojuangco Aquino merupakan Presiden wanita pertama di Filipina sekaligus pertama di Asia.

Dampak People Power :

Peristiwa People Power ini dianggap sebagai momen yang melahirkan kembali Demokrasi di Filipina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar