Corazon Aquiono, People Power dan Presiden
Wanita Asia Pertama
Cory
Aquiono dengan nama lengkap María Corazón Cojuangco Aquino merupakan Presiden wanita pertama
di Filipina sekaligus pertama di Asia. Lahir dalam keluarga China-mestizo
(indo) yang kaya pada 25 Januari 193386, Corazon yang menempuh studi Sastra
Prancis di Amerika dan kemudian mendalamin studi hukum di negerinya sendiri
berhasil menjadi orang nomor satu di negeri “Tagalog” selama 6 tahun 4 bulan.
Berbicara
perjuangan politik Corazon tidak bisa dilepas dari pembunuhan yang dialami oleh
suaminya, Benigno Servillano Aquino. Beniqno Aquiono
merupakan politisi sekaligus senator pro-demokratik yang berani dengan tegas
mengecam kediktatoran pemerintah Ferdinand Marcos.
Selama sekitar 21 tahun, Marcos memerintah secara diktator, menangkap dan
menenjarakan para aktivitis, ditambah dengan korupsi yang dilakukan
keluarga dan kroni-kroninya. Hal yang paling mencolok dari Marcos adalah
ia bertekut lutut pada semua kemauan istrinya Imelda Marcos yang menjadi biang
kerok korupsi pemerintahan Marcos.
Perlawanan
sang Senator berbuah ia ditangkap lalu dimasukkan bui pada September 1972.
Selama kurang lebih 7 tahun berada dibalik jeruji besi di Filpina, akhirnya ia
diperbolehkan berada di pengasingan (Boston-Amerika) sekaligus untuk mengobati
penyakitnya di Boston-Amerika. Setelah sekitar 3 tahun di pengasingan, pada 21
Agustus 1983, Senator Benigno Aquiono kembali untuk pertama kali di Manila,
Filpina. Baru turun dari pesawat di Bandara Internasional Manila, Beniqno
Aquiono ditembak oleh oknum. Meskipun dari hasil investigasi menunjukkan Imelda
Marcos (istri presiden incumbent) terlibat dalam konspirasi ini dengan
melibatkan partai komunis di Filipina, Marcos tetap menepis tuduhan itu.
People Power dan Perjuangan Corazon Aquiono
Pembunuhan terhadap
Senator Benigno Aquino menjadi isyarat awal akan terjadinya gerakan massa yang
luar biasa. Dua
juta orang mengantar jenazah ke pemakaman Benigno. Setelah itu, antara
1983-1986, Manila dilanda demonstrasi besar-besaran menentang kediktatoran
Marcos. Inilah masa-masa paling berbahaya, karena banyak lawan politik hilang
begitu saja. Saat itulah Corazon Aquino muncul sebagai tokoh oposisi. Dengan
melakukan berbagai gerakan politik untuk menuntut sekaligus mengecam
penculikan, penghilangan nyawa para polikus oposisi pemerintah Marcos, kehadiran
Corazon sekaligus mewakili “roh” hidup mendiang suaminya, Benigno Aquiono.
Ketika situasi
bertambah buruk, Marcos pada bulan November 1985 mengumumkan pemilu presiden
ditunda selama 2 bulan lebih dan baru akan dilaksanakan Februari 1986.
Marcos yakin bahwa tak ada orang yang mampu mengalahkan dirinya: ia
punya uang, punya senjata, dan pastinya licik. Sebelumnya Corazon Aquino
mengatakan hanya mau menjadi kandidat presiden bila dua syaratnya terpenuhi:
pertama ditundanya pemilihan umum dan kedua bila mendapat dukungan satu juta
tanda tangan. Kedua syarat itu terpenuhi. Corazon Aquino pun lantas menghadap
Jaime Kardinal Sin, minta restu. ”Baiklah, berlututlah. Aku akan
memberkatimu. Kamu akan menjadi presiden. Kamu adalah Jean d’Arc…. Dan kamu
akan menang. Kita akan melihat tangan Tuhan, mukjizat. Tuhan memberkatimu,”
kata Kardinal Sin.
Pemilu
Presiden ke-11 Filipina akhirnya dilaksanakan pada 7 Februari 1986. Selain
intimidasi dan kecurangan hasil pemilu, terjadi pulah kecurangan masif yakni
penghilangan hak pilih sebagian warganya yang memiliki kecenderungan pro pada
Corazon. Dan pada hari-H, Gubernur Evelio Javier yang menjadi sekutu
utama Corazon dibunuh. Kematian Evelio Javier menambah daftar panjang
kematian para tokoh oposisi. Dari hasil perhitungan National
Movement for Free Elections diperoleh Corazon memimpin perolehan
suara. Namun, hal-hal ini dapat diantisipasi oleh Marcos dengan mengantikan 30
anggota KPU selama proses perhitungan suara dengan orang suruhannya. Manipulasi
hasil perhitungan terjadi, dan KPU-Filipina berusaha menampilkan kemenangan
Marcos.
Tanggal 15
Februari 1986, KPU Filipina mengumumkan kemenangan bagi Ferdinand Marcos. Hasil
ini tentu saja tidak dapat diterima oleh kubu Corazon yang menyatakan bahwa
semestinya mereka yang memenangi pemilu. Pada saat yang sama Corazon menyerukan
agar masyrakat memboikot gurita bisnis Marcos. Hal serupa disampaikan
Konferensi Uskup Katolik Filipina yang menyatakan bahwa telah terjadi
kecurangan dalam pemilu tersebut.
Ketika situasi
makin memburuk, sebelum tanggal 22 Februari 1986, Wakil Staf AB
Jenderal Fidel Ramos dan Menteri Pertahan Juan Ponce Enrille membelot
dan menyatakan bahwa Marcos telah berbuat curang. Mereka meminta Presidennya
untuk mengundurkan diri. Mereka juga mengatakan, pemenang pemilu sesungguhnya
adalah Corazon Aquino.
Pada saat
itulah Jaime Kardinal Sin lewat radio Veritas meminta umatnya untuk melindungi
kedua petinggi militer itu yang hendak diciduk tentara Marcos pimpinan Kepala
Staf AB Jenderal Fabian Ver. Pada 22 Februari 1986, jutaan orang turun ke
Epifano de Dos Santos Avenue (EDSA). Inilah yang kemudian disebut sebagai “People Power Revolution ” yang mengakhiri kediktatoran Marcos.
Peristiwa People Power Revolution ini
juga dikenal dengan nama Revolusi EDSA. EDSA adalah singkatan dari Epifanio
de los Santos Avenue, sebuah jalan di Metro Manila yang merupakan tempat
aksi demonstrasi berlangsung. Hal yang menarik adalah meskipun gerakan People
Power disebut sebagai revolusi besar di Filipina, namun berlangsung damai. Demonstrasi massal dengan jutaan
orang ini berlangsung selama empat hari di Metro Manila dengan tujuan untuk
mengakhiri rezim otoriter Presiden Ferdinand Marcos dan pengangkatan Corazon
Aquino sebagai presiden.
People Power dan Kursi Kepresidenan
Untuk menjadi
presiden Filipina, Corazon harus melewati perjalanan panjang dan pahit. Ia
harus mengalami kehilangan suami tercinta, orang-orang terdekat yang mendukung
perjuangannya dan dibawah tekanan pemerintah yang otoriter.
People Power bisa berhasil karena
adanya kematangan diri sekaligus mendapat dukungan dari berbagai elemen yakni:
- massa rakyat dari
segala lapisan,
- elite politik,
- kelas menengah,
- kalangan bisnis,
- tentara, dan
- Gereja Katolik.
Kenam elemen
tersebut bersatu dan bergerak karena muak terhadap pemerintahan Marcos yang
korup, yang curang, yang bertangan besi, yang memanipulasi kekuasaan dan mandat
rakyat, serta yang hanya mementingkan keluarga dan kelompoknya sendiri.
Selama
menjabat sebagai presiden, terjadi beberapa kali usaha kudeta terhadap
dirinya. Di masa pemerintahan dia pula, konstitusi negara Filipina diubah
dengan tidak memperbolehkan presiden untuk mencalonkan lagi sebagai presiden
untuk periode ke-2 kalinya. Sehingga Aquiono hanya diperbolehkan menjabat satu
periode masa jabatan yakni 6 tahun.
Catatan :
“People Power” mengacu pada revolusi sosial damai (demonstrasi damai)
yang terjadi di Filipina sebagai akibat dari protes rakyat Filipina melawan
Presiden Ferdinand Marcos.
Dalam sebuah buku berjudul A Muddled Democracy-"People Power" Philippine Style, (Development Destin Studies Institute, November 2001) Dr James Putzel menyatakan, people power merupakan ekspresi demokrasi yang paling tinggi.
Ronald Meinardus dalam karya tulisnya berjudul Weak Institutions Fan Filipino Turmoil (Friedrich Naumann Stiftung, 2005) berpendapat bahwa people power menjadi sebuah sinonim untuk transisi demokratik dan damai.
Latar Belakang People
Power di Filipina :
- Protes rakyat
Filipina melawan Presiden Ferdinand Marcos. Selama sekitar 21 tahun, Marcos
memerintah secara diktator, menangkap dan memenjarakan para
aktivitis, ditambah dengan korupsi yang dilakukan keluarga dan
kroni-kroninya.
- Masyarakat
Filipina dari berbagai elemen muak terhadap pemerintahan Marcos yang
korup, curang, bertangan besi, melanggar hak asasi manusia, memanipulasi
kekuasaan dan mandat rakyat, serta hanya mementingkan keluarga dan
kelompoknya sendiri.
Tokoh:
Cory Aquiono dengan nama lengkap María Corazón Cojuangco Aquino merupakan
Presiden wanita pertama di Filipina sekaligus pertama di Asia.
Dampak People Power :
Peristiwa People Power ini dianggap sebagai momen yang
melahirkan kembali Demokrasi di
Filipina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar